Pages

Rabu, 03 Agustus 2011

7 Buku Paling Kontroversial di Dunia


The Da Vinci Code adalah sebuah novel karangan Dan Brown seorang penulis Amerika dan diterbitkan pada 2003 oleh Doubleday Fiction. Buku ini menggabungkan gaya detektif, thriller dan teori konspirasi, novel ini telah membantu memopulerkan perhatian terhadap sebuah teori-teori tentang legenda Piala Suci (Holy Grail) dan peran Maria Magdalena dalam sejarah Kristen - teori-teori yang oleh Kristen dipertimbangkan sebagai ajaran sesat dan telah dikritik sebagai sejarah yang tidak akurat. Buku ini adalah bagian kedua dari trilogi yang dimulai Dan Brown dengan novel Malaikat dan Iblis (Angels and Demons) pada tahun 2000, di mana diperkenalkan karakter Robert Langdon. Pada November 2004, Random House menerbitkan "Edisi Spesial Ilustrasi", dengan 160 ilustrasi yang berselingan dengan teks.
The Da Vinci Code merupakan karya fiksi, lengkap dengan orang baik, penjahat dan peristiwa-peristiwa berbahayanya. Sang tokoh protaganis, Robert Langdon, pakar pemecah kode dari Harvard, seorang yang memiliki karakter yang tulus tapi pasif dengan sedikit keruwetan. Novel ini menyajikan plot-plot yang bisa disebut luar biasa, dengan kalimat-kalimat yang cukup baik, sehingga tidak mudah terlupakan. Sebagai novel fiksi yang “popular” bisa dikatakan sangat menghibur.
Kejadian utama dalam novel ini yang begitu mampu menarik perhatian adalah tentang suatu teori konspirasi yang mengisahkan bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena. Setelah kematian Yesus, Maria kabur dengan anak mereka dan menjadi symbol “wanita suci” dari suatu agama pagan kuno.
Teori ini bukan merupakan hal baru bagi Dan Brown; siapapun pelajar yang begitu serius mempelajari tentang sejarah eklesiastikal atau pelajaran tentang gereja pastilah sangat terbiasa dengan tradisi kuno ini (albeit aberrant), yang mana sejak lama telah dinyatakan baik oleh Katolik maupun Protestan adalah merupakan suatu bidah atau pelecehan. Bagaimanapun, seseorang harus melakukan penggalian (bahkan tidak perlu terlalu dalam) terhadap dasar “sejarah” tentang tradisi ini untuk lebih yakin lagi, bahwa semua ini, hanyalah kisah fiksi belaka.
Michael Baigent, Richard Leigh dan Henry Lincoln membuat pernyataan yang mengagetkan sehubungan dengan penelitian yang mereka lakukan:
“Kita hanya bisa menelusuri dengan melakukan penyaringan menyeluruh terhadap Injil - agar bisa menentukan paragraph mana yang mungkin atau kemungkinan benar … penggalan paragraf yang mungkin dapat membuktikan tentang perkawinan antara Yesus dengan seorang wanita yang disebut sebagai Magdalena. …Dalam rangka mencari hal itu, kami menyadari, bahwa kami harus membaca kata perkata, menjembatani setiap jurang pemisah yang sudah pasti, menilai setiap jeda pada bait-bait syair yang benar. Kami pasti harus berhadapan dengan ketidak telitian, dengan petunjuk-petunjuk, dengan referensi-referensi dan yang terbaik dari semuanya adalah kesalahan semata.”
Namun penyerangan yang dilakukan oleh The Da Vinci Code terhadap Kristus dan Firman-Nya, Alkitab, meluncur lebih dalam dari hanya sekedar sebuah penyerangan teori konspirasi kuno belaka. Dengan menanamkan benih keraguan dalam pikiran pembaca tentang keberadaan Alkitab, baik novel maupun film-nya telah melakukan suatu penyerangan langsung terhadap otoritas Kitab Suci. Menurut sejarawan fiksi Leigh Teabing, salah satu tokoh rekaan Tuan Brown, bahwa Kaisar Romawi Constantine telah memilih diantara injil-injil kuno dan memilih yang paling pas dengan agenda politik yang dijalankannya, termasuk juga menciptakan satu buku yang sekarang ini kita kenal sebagai Alkitab. (Dalam kenyataannya, Kitab Suci kanonik belum diajukan pada konsili gereja sampai dengan kematian Constantine—Dewan Nicene Constantine lebih memperhatikan masalah ketuhanan dan kealamian Kristus.) Pelajaran sejarah Tuan Brown yang “fiksional” merupakan kecerdikan pseudo-academic dimana sejarah itu telah berulangkali ditolak oleh para cendikiawan sejarah dan ahli Alkitab.
Idealnya, hanya mereka yang begitu naif yang mau mengambil hal tersebut untuk ditonjolkan sebagai karya fiksi; namun, kebenaran yang menyedihkan adalah banyak orang tidak terlalu mengangap penting Firman Tuhan, dan yang lebih buruk lagi mereka lebih memilih untuk tidak percaya kepada Firman itu. Bagi mereka, kesalahan-kesalahan yang disajikan dengan pintar dalam Novel The Da Vinci Code adalah kebenaran yang mereka butuhkan agar supaya mereka dapat terus menolak otoritas Alkitab.
Ironisnya, hal ini terdapat dalam konteks yang mana pembaca akan diperkenalkan pertama kali kepada hal yang sangat menarik yaitu tentang “Rangkaian Perhitungan Fibonacci dan Proporsi Ilahi.” Perhatikan sidebar untuk bukti yang mengagumkan yang mendukung terjadinya penciptaan, penciptaan.


Novel The Satanic Verses adalah salah satu karya Salman Rushdie, seorang penulis asal India yang tinggal di Inggris. Novel yang diterbitkan pada 26 September 1988 oleh penerbit Viking Penguin ini telah memicu gelombang protes besar di berbagai dunia, terutama di dunia Muslim. Ini gara-gara isinya yang secara terang-terangan menghina Islam dan Rasulullah secara keji dan menjijikkan.
The Satanic Verses  diterjemahkan menjadi ayat-ayat Setan menyulut kontroversi dan polemik berkepanjangan bahkan hingga kini. Sebuah fatwa mati terhadap si penulis dikeluarkan oleh Khomeini. Sederet orang yang dikaitkan dengan novel ini di sejumlah negara ditemukan tewas, terutama para penerjemah The Satanic Verses ke bahasa-bahasa lain. Rushdie pun harus bersembunyi demi menyelamatkan nyawanya. Ia juga harus bercerai dari istinya.
Sejumlah hal yang diakui telah menyulut kemarahan kalangan Islam adalah fakta bahwa Rushdie menggunakan kataMahound¡ untuk merujuk kepada sosok mulia di mata seorang Muslim, yakni Nabi Muhammad SAW. Kata ini merupakan bentuk penghinaan (derogatory) dari kalangan Pasukan Salib (Crusaders) di masa Perang Salib (Crusade). Kata ini umum digunakan kalangan Nasrani Eropa semenjak Perang Salib untuk menghina Nabi Muhammad saw, walau kini memang sudah tidak terlalu lazim digunakan. Konon, penggunaan kata ini sebagai salah satu judul bab Novel tersebut, membuat kalangan pembaca dan kritikus di Barat tidak sadar bahwa Rushdie tengah merujuk kepada Islam. Kata ini kemungkinan besar diambil Rushdie dari karya Edmund Spenser, Faerie Queene.
Bab kedua novel ini, di beri judul Mahound, menggambarkan episode awal perikehidupan sosok Muhammad saw sebagai utusan Allah SWT. Tanpa tedeng aling-aling Rushdie menyebut Mahound sebagai si pedagang (the businessman) yang gila (a looney tune, a gone baboon) di saat pertama melihat Malaikat Jibril. Ia juga menyebut Allah dengan “allgood” dan “allahgod”. Dan di bagian lain, Allah disebut sebagai jauh dari abstrak … (sedang) duduk di tempat tidur, lelaki seusia dirinya, rambutnya mulai botak, berkaca-mata dan tampaknya kepalanya mulai berketombe.(The angel Gibreel’s vision of the Supreme Being is described as not abstract in the least. He saw, sitting on the bed, a man of about the same age as himself, balding, wearing glasses and seeming to suffer from dandruff.(Wikipedia, The Satanic Verses controversy).
Di saat sakaratul maut, di Bab VI, Return to Jahilia, digambarkan bahwa karakter Mahound ini bukannya dihampiri oleh malaikat Israil (di Novel disebut Azraeel), melainkan oleh berhala Lata (Al-Lat) yang berwujud perempuan. Kepada sosok Al-Lat ini Mahound berterima kasih karena telah membunuhnya. Dan tokoh Ayesha yang mengumumkan kematian Mahound, yang pada kenyataannya adalah shahabat Abu Bakr yang menegaskan wafatnya Rasul sambil menyitir ayat bahwa Rasul adalah manusia biasa yang merasakan mati dan hanya Allah yang layak disembah yang tidak pernah mati.
Sejumlah hal lain yang jelas menyinggung perasaan dan keyakinan umat Islam adalah di Bab II, Rushdie menyebut Ibrahim a.s. sebagai the bastard (anak haram) karena dengan seenaknya mengklaim bahwa Tuhanlah yang menyuruhnya meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir. Rushdie ingin menegaskan bahwa manusia dengan mudah bersembunyi di balik nama Tuhan atas halhal absurd yang dilakukan. Selain itu di Bab VI Rushdie juga menyebutkan bahwa ada duabelas pelacur dalam sebuah rumah pelacuran bernama The Curtain (Hijab) yang menyaru dengan menggunakan nama istri-istri Nabi. Meskipun ia menggunakan tanda kutip tiap kali menyebutkan nama-nama tersebut, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa ia menghina para istri Nabi. Rushdie juga menggunakan nama Jibril (Gibreel) untuk sosok bintang film dan Shalahuddin (Saladin) untuk tokoh setan. Dua tokoh ini memang menjadi guide dalam novel ini karena kisah merekalah yang digunakan Rushdie memintal alur ceritanya, dari satu mimpi ke mimpi yang lain, lengkap dengan segala perikehidupan maksiatnya.
Nama Ayesha (Aisah, istri Rasul) digunakan Rushdie di dalam novel ini untuk merujuk kepada sejumlah tokoh di tiap plotnya, dalam bab-bab yang berbeda. Ada yang berperan sebagai pelacur dalam plot Mahound (Bab VI, Return to Jahilia), ada yang sebagai sosok perempuan remaja India fanatik yang mengajak pengIkutnya untuk menyebrangi laut guna mencari pengampunan dosa dalam plot Titlipur (Bab IV,Ayesha dan VIII The Parting of the Arabian Sea), dan sebagai penguasa Desh yang kejam dalam plot Imam (Bab IV). Kota Jahilia mengacu kepada kota Mekkah. Berhala Baal berperan sebagai seorang penyair yang kemudian menjadi mucikari, The Curtain membawahi para pelacur yang menggunakan nama para istri Nabi.
Daniel Pipes, kolumnis garis keras di AS, bahkan juga bersepakat bahwa banyak elemen dalam novel ini yang menyinggung umat Islam. Misalnya saja menurut Pipes, soal syariah Islam yang di tangan Rushdie menjadi bual-bualan aneh karena mengatur segala hal termasuk (maaf) buang angin. Atau membuat seolah Rasul (melalui sosok Mahound) percaya berhala Al-Lat itu ada atau setidaknya nyata di mata Rasul.
Novel ini tidak hanya menghina keyakinan ummat Islam, tapi merupakan karya sastra yang oleh sebagian kalangan kritikus Muslim dianggap bad fiction Dalam bukunya, Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), Prof. Mohammad Hashim Kamali menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse. Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hashim Kamali, are not only blasphemous but also flippant. Karena banyaknya kata-kata kotor yang digunakannya, banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip katakata kotor dan biadab yang digunakannya.
Rushdie adalah sosok penulis yang nyeleneh. Demikian diakui berbagai pihak. Karya-karyanya selalu menyerang pihak-pihak yang ia anggap salah dan membela yang ia anggap benar walau dalam kontroversi Ayat-ayat Setan, pihak yang ia bela ke -mudian menyerang dirinya. Rushdie berasal dari keluarga Muslim India yang tidak ikut migrasi bersama enam juta orang Islam ke wilayah yang sekarang menjadi Pakistan. Orang tuanya tidak terlalu taat beragama dan tidak mendidiknya dengan baik dalam hal agama. Bahkan keluarganya digambarkan sebagai liberal dan terbaratkan. Rushdie bergaul dengan orang dari agama manapun tanpa daya kritis. Bahkan konon pada saat ia menulis novelnya ini, ia menganggap dirinya bukan seorang Muslim, setidaknya bukan dari kalangan Muslim yang menganggap bahwa apostasy atau penistaan agama bukanlah sebuah tindak pidana (capital offense). Dan sebagai penulis yang menerima segala tradisi Barat, ia termasuk yang yakin bahwa menulis adalah bagian dari suatu tugas. Juga, tulisan yang benar dan diterima adalah yang menentang arus dan menghujat.
Penulis terkenal Karen Armstrong, dalam pengantar bukunya yang berjudul Muhammad: A Bio graphy of the Prophet edisi tahun 2001 menulis bahwa gambaran buruk tentang Muhammad sudah sangat lazim terjadi di Barat. Karen Armstrong menyayangkan, bahwa gambaran buruk tentang Na bi Muhammad yang diberikan oleh Salman Rushdie melalui novelnya, The Satanic Verses itulah yang justru banyak diserap oleh masyarakat Barat. I wrote the book because it seemed a piety that Rushdies account of Muhammad was the only that most Western people were likely to read, tulis Arsmtrong.


Sebuah novel satir yang keluar pada tahun 1991 menyoroti sifat lelucon dari yuppies di Amerika. kisahnya diceritakan melalui seorang protagonis Patrick Bateman, seorang yuppie gila yang terjadi menjadi pembunuh berantai. Dalam beberapa kali novel ini telah diberi label sebagai "salah satunovel kunci dari abad terakhir," tetapi ketika keluar itu mengumpulkan kontroversi besar karena tingkat ekstrem kekerasan grafis dan penyiksaan seksual. Penulis menerima surat kebencianl dan ancaman kematian. Bulu ini masih tidak dapat dibeli oleh bawah 18 di beberapa negara.
Dalam sinopsisnya diceritakan bahwa Banyak orang mengira bisa melihat penjahat dari gerak-gerik atau sosoknya yang menyeramkan seperti bertato atau lainnya. Sayangnya dugaan itu salah karena ada juga orang yang bertampang baik-baik dan disukai banyak orang ternyata penjahat berbahaya. Bahkan bisa merupakan psikopat seperti tokoh utama dalam film "American Psycho".
Alkisah dalam film karya sutradara Mary Harron yang berdasarkan novel kontroversial Bret Easton Ellis pada tahun 2000 ini, Patrick Bateman (Christian Bale) merupakan simbol sosok sukses baik dalam pekerjaan ataupun pergaulan. Jelasnya Patrick yang berusia 27 tahun merupakan simbol impian Amerika. Itulah yang tampak di permukaan sementara tidak seorangpun tahu sosok Patrick yang sebenarnya.
Teman-teman dan orang lain melihat Patrick adalah pialang saham Wall Street yang suka bekerja keras dan luwes bergaul sehingga banyak orang menyukainya. Tetapi jika tiba malam hari, Patrick berubah menjadi sosok yang menakutkan. Pada malam hari itulah dia berkeliaran mencari korban untuk dibunuh terutama para wanita. Dengan tanpa perasaan ia membunuh para wanita dengan cara mengerikan dan memotong-motong korbannya untuk disimpan di apartemennya.
Bukan hanya wanita jalanan seperti pelacur atau gelandangan yang menjadi korban, Patrick pun mengincar rekan kerjanya, teman dan siapapun yang berani menghalanginya. Kegilaan Patrick pun makin lama makin menjadi-jadi sehingga iapun menjadi pembunuh serial. Korbannya pun mencapai 20 orang. Tentu saja pembunuhan serial itu segera menjadi berita heboh di New York. Pihak kepolisian New York yaitu NYPD pun dibuat sibuk mengusut kasus pembunuhan mengerikan itu. Masyarakat pun banyak memperbincangkan alasan pembunuhan itu dilakukan.
Belum jelas apa yang menjadi alasan Patrick untuk menjadi pembunuhan. Mungkin karena kemarahan, kecemburuan atau lainnya. Patrick benar-benar telah menjadi monster dalam arti kiasan karena ia merasa lebih hebat daripada semua orang dan tidak tersentuh orang lain termasuk hukum. Bahkan ia masih tenang-tenang saja ketika polisi New York terutama Donald Kimball (Willem Dafoe) mencurigainya. Nafsu Patrick makin tidak bisa dikendalikan karena ia ingin membunuh sekretarisnya, Jean (Chloe Sevigny), satu-satunya orang yang bersimpati kepadanya.


Novel ini terkenal dalam dunia internasional karena ide cerita dan subjek isi bukunya begitu kontroversial; sehingga bisa dikatakan novel yang cukup vulgar. Disini narator dan protagonis, Humbert adalah seorang yang terobsesi dan terlibat secara sexual dengan perempuan berumur 12 tahun. Lolita adalah novel karya Vladimir Nabokov yang pertama kali diterbitkan tahun 1955.
Setelah kemunculannya Novel Lolita memperoleh status legenda, menjadi salah satu novel terbaik dan merupakan literatur paling kontroversial pada abad ke-20. Kemudian muncul istilah lolicon atau lolita complex, istilah dalam masyarakat untuk mereka yang terobsesi terhadap gadis di bawah umur. 
Lolita bercerita lewat sudut pandang sang tokoh utama yaitu Humbert, sastrawan yang lahir pada tahun 1910 di Paris. Ia terobsesi dengan anak perempuan karena kegagalan dengan cinta masa kanak-kanaknya, Annabel Leigh karena “typhus”. Sebelum pecahnya perang dunia II, Humbert pergi meninggalkan Paris menuju New York. Pada tahun 1947, dia pindah ke Ramsdale, sebuah kota kecil di New England, untuk menulis. Ketika rumah yang dijanjikan kepadanya terbakar, Humbert ditawari untuk pindah ke kediaman Charlotte Haze, seorang janda yang tertarik kepada Humbert. 
Pada awalnya Humbert melakukan penolakan akan tawaran Charlotte, sampai pada akhirnya Humbert melihat putri nyonya Haze yang berumur 12 tahun sedang bersantai di taman. Humbert melihat sosok Annabel dalam diri Dolores dalam sekejap jatuh cinta kepadannya dan setuju untuk menyewa kamar di kediaman Haze.
Selanjutnya cerita berlanjut sampai ketika pada saat Humbert diharuskan menyetujui menikahi dirinya atau saat dia akan diusir dari kediaman Haze. Hingga kemudian pada saat kematian Charlotte Haze karena kecelakaan, Humbert lalu membawa Dolores bersamanya. Dalam perjalanan inilah banyak terdapat kisah-kisah hubungan antara Humbert dengan Dolores termasuk hubungan seksual mereka yang sebenarnya dipaksakan sepihak oleh Humber. 
Cerita hubungan Dolores dan Humbert cukup kompleks dan akhir mereka cukup tragis sebab keduannya berakhir pada kematian. Humbert meninggal di penjara karena “coronary thrombosis” setelah menulis manuskrip terakhirnya sedangkan Dolores meninggal pada saat melahirkan anaknya.
Novel Lolita hingga kini terus diperbincangkan orang, dikritisi para pemerhati sastra, dan menjadi best-seller di berbagai Negara. Novel ini bahkan dinobatkan sebagai salah satu novel paling berpengaruh yang terbit pada abad kedua puluh versi majalah internasional terkemuka, Time, edisi pergantian milenium (1999), bersama Ulysses (James Joyce) dan One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez).



The Adventures of Huckleberry Finn adalah salah satu karya besar dunia. Mark Twain, penulisnya, memiliki gaya khas saat menggambarkan realitas di dalam novel tentang kehidupan masyarakat kulit hitam sebelum Perang Saudara di Amerika, dengan mengambil sudut pandang seorang bocah bernama Huckeberry Finn, atau acap disingkat dengan Huck Finn. Setiap kata, pikiran, dan ucapan Huck mencerminkan rasisme dan stereotipe kulit hitam di masa itu.
John H. Wallace pernah menyebut novel The Adventures of Huckleberry Finn sebagai model paling fantastis dalam hal sampah rasis. Twain dituding membawa fanatisme rasis karena kerap menggunakan kata nigger (laki-laki kulit hitam), baik ketika merujuk kepada Jim, seorang budak, maupun saat menyebut orang-orang kulit hitam Amerika lain yang ditemuinya. Pilihan kata ini mengandung ejekan dan inferioritas.
Nama Huck Finn, sudah cukup akrab di telinga saya sebagai lulusan jurusan Sastra Inggris yang mengambil spesialisasi American Study. Saya merasa beruntung ketika dipercaya menjadi penerjemahnya.
Saya memang menyukai naskah-naskah klasik karena lebih dapat bereksplorasi kata. Namun, ada tantangan tersendiri ketika menerjemahkan karya klasik, salah satu di antaranya adalah kalimat-kalimat panjang beranak-pinak yang membuat harus berulang dalam membaca sebelum menerjemahkannya. Satu hal yang paling menakutkan bagi rata-rata penerjemah, khususnya saya, adalah kesalahan interpretasi.
Selain kalimat-kalimatnya yang panjang, kesulitan lain adalah dialek selatan (Mississipi) yang banyak digunakan di dalam novel ini. Untuk menebak satu kata kadang menjadi tidak mudah. Harus dibaca konteks keseluruhannya secara berulang, karena kata dituliskan berdasarkan bunyi (ucapan) tokoh. Simak yang berikut. Sekilas membaca, kening saya langsung berkerut membaca kata-kata yang bentuknya tidak baku ini.
“Yo’ ole father doan’ know yit what he’s a-gwyne to do.”
Ayahmu yang tua belum tahu apa yang akan dilakukannya.
Ini masih cukup mudah ditebak. Namun, ketika kalimat berikutnya berendeng, saya perlu tarik napas dan memusatkan perhatian benar-benar pada deretan kata-kata berikutnya.
“….Sometimes you gwyne to git hurt, en sometimes you gwyne to git sick; but every time you’s gwyne to git well agin.  Dey’s two gals flyin’ ’bout you in yo’ life.  One uv ‘em’s light en t’other one is dark. One is rich en t’other is po’.  You’s gwyne to marry de po’ one fust en de rich one by en by.  You wants to keep ‘way fum de water as much as you kin, en don’t run no resk, ‘kase it’s down in de bills dat you’s gwyne to git hung.”
Dan minus pun rawan bertambah. :D
Setelah membaca (dan menerjemahkan tuntas) novel ini, saya mengambil simpulan bahwa gaya sastra Twain ini sesungguhnya tidak bermaksud untuk merendahkan kulit hitam. Terbukti, di dalam novel ini, Huck digambarkan memiliki simpati yang besar kepada Jim, dan ingin membebaskannya dari perbudakan. Di sisi lain, Jim digambarkan sebagai seorang negro dengan karakter yang istimewa. Meski ia memiliki karakter kebanyakan orang kulit hitam pada saat itu, yang memiliki kepercayaan tinggi terhadp takhayul, serta rasa homat sebagai seorang budak kepada kaum kulit putih—Huck Finn dan Tom Sawyer, ia pun dilukiskan sebagai sosok yang memiliki wawasan dan kedalaman perasaan, penuh dengan rasa cinta dan welas asih.
Ketika novel ini disensor oleh penerbitnya di Amerika, dengan mengganti kata ‘nigger’ menjadi ‘slave’, Dr Sarah Churchwell, seorang dosen Sejarah Amerika berkomentar, “Novel ini adalah tentang seorang bocah laki-laki yang tumbuh menjadi rasis di tengah masyarakat yang rasis. Ia belajar untuk menolak rasisme. Jadi, mustahil kalau buku ini tidak mengandung rasisme. Kita tidak bisa menghilangkan sejarah rasisme di Amerika.” Ya, bagaimana pembaca bisa tahu bahwa novel itu tentang rasisme, jika dokumentasi sosial mengenai hal itu dihilangkan?
Namun, terlepas dari kontroversi dugaan fanatisme rasis dalam The Adventures of Huckleberry Finn,  menurut Ernest Hemmingway, sastra modern Amerika yang sesungguhnya, bermula dari karya Mark Twain satu ini.

 
Jangan baca buku ini kalau anda tak ingin jadi pembunuh! David Chapman, Sang Pembunuh John Lennon (bintang The Beatles), konon memegang buku ini ketika meletupkan pistol yang pelurunya bersarang di tubuh Lennon. John Lennon pun mati. Buku ini juga memicu hasrat John Warnock Hinkley, Jr. hingga berniat melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen. Tentu pendapat mengenai kaitan antara buku dan perilaku seseorang layak untuk diperdebatkan. bahkan, diragukan. "Buku hanya sedikit memengaruhi," tutur Yusi Avianto Pareanom, penyunting terjemahan buku ini dalam bahasa Indonesia, "untuk sampai pada aksi nyata, itu sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang terbangun dan cara pandang seseorang. The Catcher in the Rye sendiri sebenarnya hanya sebuah novel sederhana. Sang Tokoh, Holden Caufield adalah seorang remaja yang menginjak masa pubertas. Seorang remaja yang "bermasalah", setidaknya dalam dunia bersekolah, yang karenanya ia harus keluar-masuk dari sekolah satu ke sekolah lainnya. Semua yang dilakukan orang lain, SALAH! Begitulah setidaknya pemikiran Holden. Karenanya juga, remaja yang terbilang cerdas ini tak pernah jatuh cinta pada sekolahnya. Ada saja yang membuat dia mual. Mulai dari sistem pendidikan, biaya sekolah, pembedaan perlakuan kepala sekolah terhadap tiap-tiap orang tua murid, bahkan sampai jatah makan di asrama yang hanya membaik ketika waktu kunjungan orang tua tiba. Alur cerita novel ini sangat sederhana. Lurus saja. Yang menarik, penulisnya mampu menulis cerita dalam setting waktu yang hanya memakan waktu 3 hari, namun penuh dengan kejutan, keindahan penuturan, meski sama sekali tak puitik. Sang penulis, J.D. Salinger, dengan ciamik membawa pembaca mengetahui karakter-karakter orang-oran di sekitar Holden. Membaca buku ini kita seperti mengenal langsung orang-orang yang ada dalam cerita ini, kita seolah bisa mencium bagaimana aroma kamar-kamar di asrama sekolah sana. Garis besar cerita ini tak jauh-jauh dari cara pandang sang tokoh. Semua yang dilakukan orang lain, SALAH! Sampai-sampai ia bermaksud memutuskan minggat dari sekolah (sebenarnya ia sudah tahu bahwa ia akan dikeluarkan), kabur dari rumah, pergi ke tempat terpencil dimana sama-sekali tak ada orang yang mengenalinya. Masalahnya justru bertambah ketika ia merasa harus mengabarkan rencana kepergiannya kepada adiknya, Phoebe; satu-satunya orang yang ia cintai -- selain adiknya yng sudah meninggal dunia. The Catcher in the Rye sebuah novel psikologi yang amat dahsyat. Penuh pergolakan emosi seorang remaja pubertas di Amerika Serikat. Karenanya novel yang sempat dilarang dan kemudian jadi buku bacaan wajib bagi siswa sekolah AS ini patut untuk menyita waktu kita. Penerjemahannya ke Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Banana Publisher juga amat berhasil. Banyak kata-kata pilihan sang penerjemah dan penyunting benar-benar di luar dugaan. Ada yan tak akrab dengan telinga kita. Tapi juga ada kata yang sangat akrab bagi telinga yang ''gaul'', misalnya saja, ada sebuah coretan dinding yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ''Ng**tot, lu!" Anda pasti bisa menduga dalam bahasa aslinya apa?


Ditulis oleh George Orwell ketika ia menjelang kematian, novel ini sangat dipengaruhi oleh pandangan politik penulis. Tema dalam buku ini menyertakan Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan topik-topik seputar seperti totaliterisme, penyiksaan, mengendalikan pikiran, pelanggaran privasi, agama terorganisir, sensor, seks dan banyak lagi. Novel ini juga dikatakan telah menciptakan gagasan tentang “Big Brother”, bahwa kita selalu diawasi. Banyak fanatik mengklaim bahwa Nineteen Eighty-Four ditulis oleh Orwell yang sedang sangat sakit dan tidak sehat jasmani pada saat itu sehingga ngawur, dan untuk alasan itu harus dilarang. Lainnya tidak setuju mengatakan itu adalah maha karya-nya.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

Posting Komentar